Rabu, 09 Maret 2011

PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID

oleh: Moh. Fathir Habibie

PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini?
Sebenarnya fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Nama Gus Dur identik dengan pluralisme. Ia menjadi rujukan kaum minoritas dan mereka yang dianggap sebagai ‘liyan’, the others. Gus Dur tak segan melawan arus besar, untuk melindungi kaum lemah. Dialah salah satu penggagas teologi pluralisme yang menghargai perbedaan. Dari mana Gus Dur mengembangkan ide-idenya? Rumadi, salah satu intelektual muda NU, mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa sesungguhnya Gus Dur sempat mendukung gagasan-gagasan Ikhwanul Muslim. Ikhawanul Muslimin di Indonesia saat ini diadaptasi oleh Partai Keadilan Sejahtera.

 PEMBAHASAN
A.          Biografi Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap Abdurrahman ad-dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia memulai pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan Yogyakarta, bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di rumah KH Junaid, ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.[1]
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan sewaktu beranggapan bahwa kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra. Pada saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kenudian ia dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia.[2] 
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik.[3] Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.[4]
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.[5]

B.           Peta Pemikirannya Gus Dur
1.      Penebar Pluralisme
Gus Dur adalah seorang yang berdiri ditengah-tengah suatu masa yang dibangun dalam sebuah tatanan yang sangat monolitik, baik pada tataran ideology, politik, kebudayaan dan keagamaan. Ini kalau kita tempatkan Gus Dur dalam seluruh kerangka orde baru sejak tahun 1965 hingga 80-an, yang waktu itu masyarakat benar-benar hendak dijuruskan pada suatu tatanan kehidupan dan tata pikir yang uniform. Gejala proses uniformitas (penyeragaman) tampak dalam bidang ideology, pendidikan dan aturan-aturan keorganisasian yang seharusnya memuat aspirasi masyarakat yang pluralistic.
Gagasan Gus Dur mengenai toleransi dan dialog antar agama atau antariman inheren dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila seseorang berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran terhadap keberbedaan. Dialog dan toleransi pada kaum intelektual dan rohanian katolik sebenarnya sudah cukup maju dan eksplisit, khususnya jika merujuk pada dokumen yang terkenal dengan sebutan dokumen Vatican Council kedua. Dokumen ini didalamnya memuat nilai-nilai sikap, dan penghargaan-penghargaan baru terhadap agama-agama lain. Ketika Gus Dur bertemu dengan kelompok semacam ini dari kalangan kristen, maka dia tidak merasa asing dengan pola pikir keagamaan atau teologi yang memang sangat toleran dan secara positif mengakui keagungan serta kesucian iman yang berada diluar horison keIslaman. Dalam hal ini gusdur mempunyai semacam sikap teologi tertentu yang bukan sekadar bersikap toleran dan dialogis, tetapi juga bersikap menghargai keberbedaan agama-agama tersebut.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan sikap dialogis yang ditujukan pada dua cabang dalam kehidupan agama. Pertama, Gus Dur sendiri berpendapat bahwa perbedaan agama-agama cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seseorang masuk surga dan neraka adalah Tuhan sendiri.[6]   Baik agamawan, rohaiawan, kiai, muballigh, atau wali sekalipun tidak bisa melakukan judgment atau penghakiman kepada orang  selama di dunia. Karena Gus Dur sadar bahwa ada banyak hal tersembunyi dalam kehidupan seseorang selama hidup di dunia ini, dan itu hanya tuhan yang tahu. Oleh sebab itu maka tuhanlah yang akan menentukan apakah seseorang itu benar atau salah hari akhir nanti. Pemikiran itu saya rasa merupakan semacam ”radikalisme dalam teologi”, yang sekarang ini lebih dikenal dengan ”teologi universal”. Teologi universal menempatkan kebenaran agama-agama hanya di dalam kerangka kemutlakan tuhan. Jadi hanya allah yang maha mutlak. Selain itu bersifat relatif, termasuk didalamnya iman yang dipercayai oleh orang-orang diseluruh dunia. Saya rasa ini menjadi basis teologi yang membuat umat manusia tidak nervous dengan keberbedaan-keberbedaan yang ada pada agama-agama atau orang-orang yang beriman.
Kedua, Gus Dur juga melangkah pada segi-segi yang lebih praktis. Bagi Gus Dur, praksis agama menjadi sesuatu yang sangat esensial di dalam hubungan antaragama yang didasari oleh toleransi dan langkah yang sangat konkrit. Sebagai bukti, gusdur melakukan kerjasama dengan siapa saja secara terbuka, baik dalam kelompok kristen, hindu, budha, maupun kelompok Islam yang lain. Meski kemudian banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok sekuler yang tidak terlalu banyak mempersoalkan doktrin-doktrin atau dogma-dogma agama adalah perkembangan lain.[7]

2.      Tidak Ada Negara Islam
Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan disini, karena memang sangat berarti dalam kepastian legalitas dari suatu pemahaman yang sampai saat ini masih terasa tidak jelas apakah sebenarnya yang ada pada Islam. Apah memang ada suatu konsep negara Islam dalam agama Islam sendiri atau memang tidak ada sama sekali.
Pertanyaan diatas oleh Gus Dur dijawab dengan tegas dan sederhana bahwa Islam tidak pernah menganjurkan pembentukan negara Islam. Islam hanyalah seagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.[8] Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti pergantian pemimpin. Rasulullah saw digantikan Sayyidina Abu Bakar-tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin minimal di madinah menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari semua sepakat bahwa sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at / prasetia. Ketika Sayyidina Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada pada komunitas muslimin hendaknya umar bin khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukan pengganti, sebelum yang digantikan wafat.. ini tentu saja sama dengan penunjukan seorang wakil presiden oleh seorang presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar  sudah ada pada masa kritisnya dan masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilihan (electoral collage- ahl halli wal aqdli), yang terdiri dari tujuh orang termasuk anaknya sendiri, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu bersepakatlah mereka untuk mengangkat Usman Bin Affan sebaga kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya Usman digantikan Ali Bin Abi Thalib dan hal ini tanpa ada penunjukan dari Usman.
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerinahan bagi kaum muslimin. Pada masanya Umar Bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur  atlantik hingga asia tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara-kota (city state) yang menjadi konseptualnya.
Para penganjur ”negara Islam” selalu menggunakan dua firman allah swt dalam kitab suci Al-Quran sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka selalu mengemukakan bahwa kitab suci tersebut enyebutkan; ”masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan” (QS. Al-baqarah : 208), yang jelas-jelas harus ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotong-potong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain. Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan ”terkena” firman tuhan dalam kitab suci tersebut; ”tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya” (QS. Al-mu’minun : 53) dengan mementingkan ”milik sendiri” itu, mereka melupakan firman lain : ”dan tiadalah Ku-utus Engkau ya muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia” (QS. Al-Anbiya’: 107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun sedikit yang diperhatikan kaum muslimin.[9]
Firman Tuhan berikutnya yang sering dijadikan landasan bagi gagasan negara Islam; ”hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (QS. Al-Maidah: 3) firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan yang ”berbau negara”.[10] Diandaikan, tanpa negara, Islam tidak dapat terwujud dengan sempurna. Dengan demikian permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif kita harus mendirikan negara Islam sebagai ”perintah agama” yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melasanakannya merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin dimanapun mereka berada.
Gus Dur berpandangan bahwa tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam, berdasarkan ketiadaan konsepnya dalam nash Al-Quran. Karena dalam Al-Quran tidak ada konsep ad-daulatu (negara, pemerintahan), dan tidak diaturnya model suksesi yang tetap. Padahal suksesi adalah persoalan yang sangat penting dalam suatu konsepsi model pemerintahan.[11] Dengan begitu, maka menjadi jelas bahwa tidak ada konsep teori kenegaraan, yang berbeda dari konsep-konsep yang lainnya.
Secara teoritis menurut Gus Dur terdapat dua model pemikiran tentang negara dalam pandangan Islam. Pertama, adalah pemikiran idealistik yang dalam kerangka pemikirannya telah secara sadar dirumuskan sebuah kerangka negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam pandangan ini Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh, dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus persen Islami. Kedua, jenis pemikiran realistik yang tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam. Pikiran ini lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis negara dapat ditampung dalam Islam.[12]
Gus Dur mendasarkan pemikirannya tentang konsepsi Islam dan negara dengan menggunakan metode fungsionalisme (struktural). Sebab baginya, perumusan hubungan yang tepat antara relasi agama dan negara harus menggunakan sudut pandang fungsional.[13] Yaitu keharusan membacanya dalam suatu kerangka bahwa antara agama dan negara mempunyai fungsi sosial dalam masyarakat. Karena itu meski pada dasarnya antara agama dan negara mempunyai fungsi yang berbeda, namun antara satu dan yang lainnya tidak bisa saling menegasikan, atau dengan kata lain yang satu tidak bisa hidup dengan yanpa kehadiran yang lainnya. Dengan begitu pola yang digunakan Gus Dur adalah metode keseimbangan dengan menekankan pada terciptanya keharmonisan.
Selain menolak diberlakukannya agama sebagai ”ideologi alternatif”, gus dur juga menolak diberlakukannya agama sebagai sebuah suplemen (pelengkap) dalam negara, yang justru akan mengakibatkan kecilnya penghargaan negara terhadap hak asasi manusia dan tidak mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak bagi kebebasan berbicara dan berpendapat. Dengan posisiya yang bersifat suplementer, hubungan agama dan negara justru akan bersifat manipulatif, yaitu sekedar menyediakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.[14]
3.      Pribumisasi Islam
Ada dua tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema pribumisasi Islam. Pertama, ”salahkah jika dipribumikan? Tulisan kolomnya di majalah tempo pada 16 juli 1983, dan kedua, ”pribumisasi Islam”, antologi tulisan dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im saleh. Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang.[15] Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memang mempunyai wilayah tumpang tindih, sebagaiman filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Di antara keduanya (agama dan budaya) terjadi tumpang tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaannya.
”Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman  yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah hukum itu sendiri. ”pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawaid al-fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan.[16]
Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keilamannya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam solat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan Al-Quran hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan Al-Quran itu sendiri.
Proses pergulatan dengan kenyataan kebudayaan tidaklah dimaksudkan merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Oleh karena itu yang dipribumikan sebagai fokus-menurut gus dur- adalah manifestasi kehidupan agama Islam, bukan ajaran Islam yang menyangkut inti keimanandan peribadatan formal. Kata Gus Dur, Islam harus tetap Islam dimanapun saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya. Disini, kata Gus Dur harus ada titik temu antara Islam dan budaya.[17]
Salah satu lontarannya sebagai implementasi gagasan ”pribumisasi Islam”, yang pernah mengandung kontroversi, yaitu ”assalamu’alaikum” yang disamakan oleh Gus Dur dengan ”ahlan wa sahlan atau shabah al-khayr”. Artinya, kata Gus Dur, assalamu’alaikum bisa diganti dengan ”selamat pagi” atau ”apa kabar”. Gagasannya untuk ”pribumisasi Islam” ini karuan saja membuat geger di kalangan NU.sampai akhirnya sekitar 200 kiai berkumpul di pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon untuk mengadili Gus Dur.  

KESIMPULAN
            Islam bagi Gus Dur harus ditempatkan sebagai agama yang benar-benar rahmatan lil alamin, termasuk bagi mereka yang tidak beragama islam tanpa harus memeluknya sebagai agama. Dengan demikian, islam datang sebagai agama yang dapat dinikmati oleh semua orang. Hal ini menurut Gus Dur bisa terwujud tanpa harus menjelma sebagai ”ideologi negara” yang sifatnya mengikat seluruh warga negara. Menjadikan islam atau atau agama apapun juga sebagai ”ideologi alternatif” dalam negara yang pluralistik justru akan memicu terjadinya disintegrasi bangsa.
Bagi Gus Dur tidak ada konsep kenegaraan yang baku dalam islam. Sebab dalam Al-Quran sendiri tidak ada term ad-dawlah ataupun baldah yang bermakna politis. Selain itu tidak ada pula petunjuk pelaksanaan yang secara teknis berasal dari Nabi Muhammad Saw. Di samping tidak adanya tradisi sejarah islam yang baku yang berkaitan dengan suksesi pemerintahan. Dengan begitu bagi Gus Dur, yang terpenting bukanlah formalisme islam secara institusional melainkan termanifestasikannya ajaran islam dalam etis masyarakat.
Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang. ”Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman  yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah hukum itu sendiri. ”pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawaid al-fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan

DAFTAR PUSTAKA

Ø    Wahid Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute 2006)
Ø    Wahid Abdurrahman, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Ø    Wahid Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999)
Ø    al-Brebesy Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Ø    al-Brebesy Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Ø    M. Bukhori Pahrroji, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Bantul: Pondok Sanusi 2003)
Ø    Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000)
Ø    Masdar Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)


[1]   Pahrurroji M. Bukhori, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Bantul: Pondok Sanusi 2003), hlm. 60-62
[2]    Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hlm. 99
[3] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm 121
[4]   Ibid, hlm. 126
[5] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm 39
[6] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm, 108
[7] Ibid, hlm 109
[8] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute 2006), hlm. 81
[9] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute 2006), hlm. 12
[10] Ibid, hlm. 13
[11] Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 16
[12] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hlm. 55-56
[13] Ibid, hlm. 74
[14]  Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm 249
[15] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm 43
[16] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm 44
[17] Ibid

Selasa, 08 Maret 2011

TUHANPUN AKU TANTANG; Restorasi di kampus tak bertuhan


oleh: Moh. Fathir Habibie

A.           LATAR BELAKANG
Setiap manusia yang dilahirkan pasti sudah memiliki rasa iman dan percaya akan Tuhan. Terlepas dari tendensi apapun hal itu pasti sudah melekat dengan kejiwaan manusia. Sampai kapanpun manusia akan selalu berhubungan dengan Tuhan yang konon merupakan pencipta awal dari manusia. Kata Tuhan merupakan sesuatu yang sangat super sekali sehingga acapkali wilayah ketuhanan merupakan sesuatu yang sangat sacral dan tidak bisa dijelajahi oleh akal fikiran manusia. Ada juga yang bilang kalau Tuhan tidak bisa digugah dan bahkan dipermainkan sama sekali dan ada pula yang bilang kalau Tuhan tidak bisa dijangkau oleh manusia. Namun terlepas dari semua itu substansi yang ada hanyalah dimungkinkan adanya satu penyebab dari suatu akibat yang Maha Besar ini.
Keberadaan manusia yang beriman dan percaya kepada yang namanya The Greet Power sudah biasa dan sangat lumrah sekali, namun sangatlah bervariasi dalam setiap diri manusia untuk mengungkapkan jati diri Maha Penggeraknya penggerak. Ada yang memahami dengan mendapatkan informasi dari jalur nasab alias keturunan dengan modus doktriner, ada yang menerima melalui jalan doktrinisasi dari sang guru dan ada pula yang menerima informasi dengan melalui jalan perenungan diri dan proses internalisasi yang sangat mendalam tanpa adanya pengekangan dari nuansa doktriner. Persoalannya yang terletak disini adalah sebenarnya pengetahuan akan ke-Esa-an The Greet Power ala doktriner sangatlah menempakkan kedangkalan dalam memahami dan mengetahuai substansi yang sebenarnya. Paham doktriner yang sering kali menyebabkan seseorang terperangkap dalam kungkungan penafsiran yang sifatnya terbatas dan tidak tahu akan hakekat dari ke Maha Esa-annya Tuhan.
Acapkali orang yang mendapatkan pengetahuan dari doktriner itu hanya memiliki pondasi dasar ke-Tuhanan yang sangat dangkal, gampang percaya tanpa ada uji kelayakan dulu, gampang menyalahkan orang lain yang tidak sepaham dengan pendirian dan paham yang mereka peroleh, dan yang terakhir mereka hanyalah tahu akan The Greet Power sebagai label tanpa tahu hakekat yang sebenarnya. Mereka terjebak pada tataran label saja dan menfinalkan
Istilah “Tuhan pun Aku Tantang” merupakan penegasan dari upaya penantangan terhadap pemahaman dan doktrin ke-Tuhanan yang dipahami Maba (Mahasiswa Baru) yang sudah membatu dalam hati. Penantangan disini bersifat me-Rekonstruksi ulang paham doktiner ideology mereka seputar ke-Tuhanan yang mulanya hanyalah mengutamakan label saja tanpa mempentingkan substansi yang sebenarnya. Pemaknaaan yang sesungguhnya sudah banyak diabaikan dalam tataran teoritis dan praktisnya pun. 
Istilah “Restorasi Jati Diri di Kampus tak berTuhan” merupakan upaya untuk melakukan pembenahan dan memberikan arahan kembali seputar paradigma dari pemahaman bagaimana ber-Tuhan ala substansial yang hal ini tidak lagi terkekang pada labelisasi semata. Adanya pembenahan kembali semacam ini juga bertujuan untuk memperkuat landasan teologi dengan argumentative yang rasional dan bias dipertanggung jawabkan secara proporsional.

B.                PEMBAHASAN
a.      Menggugat Identitas Ke-Esa-An Tuhan; antara label dan kesadaran
Pada mulanya manusia, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan Bumi.Dia tidak terwakili oleh gambaran apapun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Berbicara soal Tuhan dan bentuk ke-Esa-annya merupakan pembahasan yang sangat rumit sekali karena hal semacam ini sudah masuk pada wilayah territorial Agama. Kendatipun demikian apakah salah jika ada semacam penyusupan kewilayah yang dianggap sangat sacramental tersebut..!!! Apapun agamanya namun semua agama berkeyakinan bahwa Tuhan mereka secara esensinya dipredikatkan sebagai entitas yang Satu, Tunggal ataupun Esa. Ada keserentakan dalam hal pemahaman untuk memurnikan akan esensi Tuhan walaupun memang secara praktisnya ada semacam letak perbedaan dalam penyimbolannya. Hal semacam ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan dalam cara pendekatannya saja. Dimanapun keberadaannya sangatlah mempengaruhi pola pikir manusia dalam menentukan identitas dari sang Tuhan.
Setiap individu pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menafsirkan dan menentukan seperti apa desain dari esensi Tuhannya sesuai dengan batas kemampuan akal mereka. Yang pasti pemaknaan dari semua inividu akan kekuatan yang Maha Penggerak dimaknai sebagai sesuatu yang  Maha Dahsyat yang mempunyai daya kekuatan besar (The Great Power). Makanya kita disini harus memposisikan diri sebagai individu yang bebas dan terlepas dari intervensi doktrin yang disuguhkan oleh para pendahulu kita. Maksud disini bahwa sudah tibalah kita menjajaki dan menemukan hakekat The Great Power yang sesungguhnya. Bukan lagi terbatasi pada label kemutlakan Allah dalam agama Islam, Yesus dalam agama Kristen, Krisna Wisnu Siwa dalam agama Hindu, sang Budha dalam agama Budha.
Realita yang sangat mungkin sekali adalah bahwa kejelasan dalam memahami serta tahu akan keberadaan serta ke-Esa-an Allah diidentifikasikan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan nalar yang diwakili oleh akal yang memiliki dimensi kepekaan dan daya kritis yang memungkinkan dalam memahami segala hal, dan yang kedua menggunakan doktrin atau dogma yang hal ini diwakili oleh hati yang mempunyai perasaan patuh akan pemberitaan yang masih belum teruji. Kendatipun hal ini merupakan hal yang sangat lazim dalam keseharian dalam mempersepsikan Allah, namunkendala dan dampak yang terjadi adalah banyaknya ketidakpuasan seputar pemahaman Allah ala orang-orang yang menggunakan paradigma doctrinal.
Tapi walaupun demikian tataran nilai-nilai agama tidak harus memberikan pembatasan dalam konsep ketuhanan yang sesungguhnya.Selama ini kita memikirkan Tuhan merupakan entitas yang sudah jadi, final, dan tidak perlu dibayangkan lagi. Dengan adanya pemahaman yang semacam ini maka akan timbul kemandekan pemahaman yang tidak akan lagi berkembang dan memberikan devariasi yang luas. Symbolisasi yang dipredikatkan pada Tuhan akan memberikan pembatasan dan defensivitas substansi dari sang Penggerak. Ketika kita menganggap penfinalan labelisasi akan substansi identitas Tuhan maka yang ada semacam ilustrasi seperti orang yang ejakulasi dini. Tidak ada penghayatan dalam masa memproses pencarian dan perenungan.
Makanya perlu adanya peniadaan definitive Tuhan yang sudah tersublimasi dalam diri setiap individu.Walaupun memang tidak bisa dipungkiri kebanyakan agama telah membatasi dan mendifinisikan makna Tuhannya dengan sedemikian macam labelnya.Bentuk penyimbolan yang seperti ini menimbulkan tidak adanya bentuk penyadaran dalam memahami identitas tersebut. Maka seharusnya ada semacam persepsi dan penanaman kembali hal-hal yang nantinya akan menumbuhkan persepsi yang baru, terbuka dan memili daya argumentative yang jelas dan logis.
Sepintas kita bisa memberikan makna bahwa pengetian tentang Allah adalah suatu pegertian tentang pengada yang sempurna penuh tanpa batas, yakni pengada  yang mengandung didalamnya segala kesempurnaan, termasuk keberadaanya secara nyata. Maka bahwa Allah ada secara nyata adalah kebenaran mengenai Allah. Pengertian tentang Allah ini penting sekali artinya bagi ajaran tentang pengenalan. Jikalau Allah yang sempurna tanpa batas itu benar-benar ada, maka ia tidak akan meniru kita dalam soal yang ditunjukkan oleh akal kita sebagai hal yang jelas dan terpilah-pilah.

b.      Paham Tuhan dalam perspkektif lintas Agama
Semua agama pada dasarnya mempersepsikan diri mereka masing-masing sebagai hamba dan makhluk dari sang Pencipta yang dipercayakan sebagai sesuatu entitas Tunggal atau Esa. Berpangkal pada teisme orang mudah sekali menghubungan agama Yahudi, Kristen dan Islam.Tetapi kalau mau bicara konkret, soalnya tidak segampang itu.Lebih-lebih kalau juga agama Hindu dan Buddha mau diperhatikan.Tuhan yang sering kita persepsikan itu Allah secara abstrak bukanlah Allah yang disembah orang. Tetapi Allah yang disembah orang dalam agama berbeda-beda menurut cara orang menyembah.
Paling mudah kita berbicara mengenai paham Allah yang sama dalam dialog antara agama Kristiani dan agama Yahudi. Sebab orang Kristiani mengabil alih kitab suci orang yahudi dan dengan demikian juga paha Allah mereka tetapi disinipun perlu memperhatikan perbedaan.Perbedaan tersebut menyangkut tempat dan kedudukan Yesus Kristus. Yudaisme tidak akan pernah menerima satu mesias saja, khususnya tidak didunia ini. Sebab mesias adalah seorang tokoh eskatologis (dan itupun tidak umum diterima oleh Yudaisme). Maka ada dua keberatan: Mesias dalam arti pengantara keselamatan di dunia sekarang ini; dan terutama eksklusifisme Mesias itu.
Hal ini lebih jelas lagi dalam dialog dengan agama Islam. Islam mengakui wahyu Musa dan kepada Isa sebagai wahyu benar.Maka secara implisit mereka mengakui Allah orang Yahudi dan Kristiani.Dalam tradisi Islam sangat menekankan bahwa paham Allah tidak dapat terjangkau. Maka mereka tidak hanya bersikap skeptic terhadap apa yang disebut teisme, tetapi terutama mereka hanya dapat berpegang pada wahyu Allah yang disampaikan melalui Muhammad. Dalam islam ditekankan keagungan dan ke kuasaan Allah, walaupun Ia juga menyatakan diri sebagai yang Maha Rohim. Namu keakraban yang ditemukan dari tradisi yahudi, dan khususnya Kristiani, kiranya tidak ditemukan di islam. Disinipun letak perbedaannya bukan dalam paham Allah sendiritetapi dalam pandangan mengenai hubungan Allah dengan manusia
Dalam agama Hindu ada semacam pertanyaan yang harus diangkat, yaitu apakah Allah itu subjek atau objek?Hinduisme jelas akan menjawa Subjek. Nan ilahi dalam transendensi absolut disebut brahman, tetapi dalam imanensi dalam setiap orang Ia adalah Atman. maka antara brahman dan atman sesungguhnya tidak boleh dilawankan sebagai transendensi dan imanen. Sebab juga atman yang imanen dalam manusi juga sekaligus mentransendir segala kekuatan dan kemampuannya. Juga sebagai atman, brahman adalah absolut. Tetapi nan ilahi itu tidak hanya menggerakkan manusia individual melainkan alam semesta seluruhnya. Maka Allah tidak dikenal di luar manusia, tetapi dalam penghayatan atman, nau tanpa kehilangan sifat transendennya. Sebagai brahman (dan atman) nan ilahi tidak terwujud.
Sedangkan dalam agama Buddha tidak mengaku Allah, juga tidak menyangkal Allah.Budhisme tidak berbicara mengenai Allah.Buddhisme berbicara mengenai manusia, khususnya mengenai penderitaan manusia, dan mau memberi petunjuk konkret-praktis bagaiman manusia dalam situasi ini dan menacapai kebahagiaan. Buddha memang adalah seorang guru yang memang oleh sementara orang diberi status yang amat tinggi (barangkali boleh disebut “ilahi”). Agama Buddha bersendika Ketuhanan yang maha esa, tetapi kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran, melainan melalui Bodhi (penerangan sempurna). Dalam refleksi filosofis paham Allah disekularisasikan, bukan “ilahi” lagi.Kalau Allah dibuat menjadi objek, maka tidak ilahi lagi; kalau dihayati sebagai subjek, maka juga tidak lagi mengatasi manusia tercipta.Maka lebih baik diam.

C.    Menyoal Pluralisme Agama  
            Pluralitas agama-agama dan interpretasi penyimbolan Tuhannya bukanlah fenomena di abad ini saja, namun pluralitas sudah ada sejak dulu, ketika umat Allah, ada di tengah-tengah dunia.Pluralisme keagamaan merupakan suatu fakta kehidupan modern dan pasca modern yang tidak dapat dihindari dan diabaikan, karena kita hidup di tengah-tengah kehidupan yang serba majemuk.Kenyataan banyaknya agama mengakibatkan umat beriman untuk merumuskan sikap teologis untuk menjawab realitas itu. Hal ini merupakan upaya iman, karena dalam konteks beriman sebagai seorang yang beragama esensinya akan mendorong untuk melihat dan berkata sesuatu terhadap agama lain dengan kaca mata iman serta pengetahuan yang dimiliki.
Agama, Apa Maknanya Agama, sering sekali sulit untuk mendefinisikannya, karena agama tidak untuk didefenisikan apalagi untuk diperdebatkan melainkan agama untuk dihayati dan dihidupi.Hans Küng menyatakan bahwa agama itu bukan hanya menyangkut hal-hal teoritis, melainkan hidup sebagaimana kita hayati. Agama menyangkut sikap yang mempercayai hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup. Dan yang terpenting adalah bahwa agama itu menyangkut soal relasi atau perjumpaan dengan “the Holy”. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang akan hidup. Secara ekstensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmen pada makna, pada nilai dan pada norma. Agama, kata Küng, memberikan makna yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan “rumah” rohani.
Nilai universal agama merupakan sumber nilai bagi kehidupan masyrakat. Namun secara sosiologis dan historis, agama juga sebagai kenyataan masyarakat, semua mengalami ketegangan antara apa yang disebut “partikularitas” dan “universalitas”. Hidup dalam keberagaman adalah hidup yang indah, baik dan menjadi berkat bagi manusia, tetapi ketika dalam pluralitas itu terjadi miskomunikasi, mispersepsi karena kendala bahasa yang tak terjembatani, maka pluralis itu menjadikan umat manusia tercerai berai (berhadapan dengan pemeluk agama lain, seseorang harus siap menghadapi dan mengakui perbedaan mendasar dalam hal pandangannya tentang dunia, hidup, cara berperilaku dan bersikap, dan lain sebagainya). Bagaimanakah kita memandang kedudukan agama-agama di dunia? Adakah cara pandang yang bisa menjadi dasar dialog yang, di satu pihak, tidak meremehkan agama lain, dan di lain pihak tidak menghianati agama sendiri.
Sebagai umat yang tahu akan sesuatu yang Maha Besar seharusnya kita semua melakukan perenungan dan dialog dengan keyakinan lain karena baik firman dan pengalaman kita membuktikan kalau Tuhan bekerja di seluruh kebudayaan dan sejarah manusia. Tuhan menyatakan diri-Nya tidak hanya melalui ke-Kristenan-an, tetapi juga melalui berbagai cara pandang tentang Tuhan dalam masyarakat dan agama mereka. Keyakinan-keyakinan lain juga merupakan pernyataan Tuhan atas eksistensinya kepada manusia. Dialog dengan agama adalah perlu dilakukan sebagai sarana saling memahami dan bekerja sama.
Dalam aspek yang sangat umum, Kung menunjukkan tiga aspek arah dari setiap dialog :
  1. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh.
  2. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah-ubah.
  3. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama -meskipun ada

Perbedaan memang tidak dapat dihindari, bukan hanya dalam hal beragama, melainkan dalam segala aspek kehidupan.Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling unik yang Tuhan ciptakan, yang memiliki akal, budi pekerti, kehendak, dan lain sebagainya.Demikian juga halnya dalam beragama, setiap pribadi berhak untuk meyakini keimanannya dan menghidupi iman yang diyakininya.Sebagai masyarakat yang hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia, yaitu masyarkat yang pluralistik, perbedaan memang kenyataan dan tidak dapat dihindari. Kita tidak usah berbuat seolah-olah mengakui bahwa dalam agama lain ada kebenaran dan keselamatan, tetapi dengan diam-diam dan terselubung tetap menganggap bahwa agama kitalah yang benar. Demikian pula kita tidak perlu menganggap bahwa setiap agama itu sama saja, hanya cara yang ditempuhnya berbeda-beda, apalagi memaksa diri untuk menjadi seragam, misalnya menciptakan teologi agama-agama yang bisa diterima semua pihak, padahal kenyataannya kita memang berbeda.
Pengakuan akan Allah sebagai Sang Pencipta belum berarti perjumpaan dengan Allah, juga tidak kalau Allah diakui sebagai pribadi. Pada dasarnya pengakuan akan Sang pencipta adalah pengakuan akan misteri diri manusia sendiri sebagai makhluk yang sekaligus terbatas dan tak terbatas. Namun dengan pengakuan semacam ini secara implisit diakui pula dasar komunikasi seputar ketuhanan antara Sang Pencipta dan makhluk-Nya. Perbedaan-perbedaan yang seperti itulah tidak hanya bersifat sangat prinsipil, tetapi juga sangat ditentukan. Paling sedikit nantinya mempunyai landasan yang sangat kuat. Dari situlah datang pluralisme agama yang pada dasarnya adalah pluralisme iman, harus diakui.
Dari lain pihak, jawaban terhadap perlawanan antara sekelompok agama yang saling berbeda pendapat bukanlahmenghilangkan arti agama, tetapi berhadapan dengan plualisme agama pantaslah orang mendalami iman dan penghayatan dalam kelompok agama sendiri, dalam kesadaran bahwa tidak ada satupun agama pun yang dapat dimutlakkan. Yang mungkin hanyalah saling mendengarkan, saling menghargai dan berusaha bersama menyambu keselamaan Allah dan penyampaikany kepada publik.


TEORI-TEORI DASAR SOSIOLOGI DAN PARA TOKOH-TOKOHNYA

oleh : Moh. Fathir Habibie*


A.    PENDAHULUAN
Istilah teori sosiologi memiliki arti dan penggunaan yang beraneka ragam. Keanekaragaman sedemikian ini sering membingungkan para sosiolog dan orang-orang yang mempelajari ilmu sosiologi, karena antara dua orang atau lebih mungki saja tidak sepaham mengenai arti teoretis dari sebuah ide (pemikiran). Kesalahpahaman sedemikian ini menyebabkan sesuatu ide tertentu bisa hilang atau salah diinterpretasikan. Oleh karena ini adalah bijaksana kalau kita mencoba memahami secara sungguh-sungguh aneka ragam istilah teori dalam sosiologi.
Dahulu, biasanya teori-teori muncul sebagai suatu hasil dari upaya orang untuk memahami suatu hal yang merupakan teka-teki baginya. Teori-teori itu tumbuh Karena adanya masalah pokok yang kita namakan problem-problem praktis.
Teori adalah alat untuk memahami kenyataan. Teori sebagai alat untuk menyatakan hubungan sistematik antara fenomena atau gejala yang hendak diteliti. Pernyataan ini mengandung arti bahwa teori selalu lahir dari kenyataan dan selalu diuji pula dalam kenyataan.
Kalau demikian halnya, teori sosiologi selalu lahir dari kenyataan sosiologi. Dia akan merupakan refleksi dari keadaan masyarakat yang digambarkannya. Karena pada kenyataannya tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, maka teori-teori sosiologi juga tidak ada yang tidak mengalami perubahan. Dia akan tumbuh, berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Seiring perkembangan realitas yang ada di masyarakat.

B.    PEMBAHASAN
I.      Perkembangan Teori Sosiologi di Prancis
a)         AUGUSTE COMTE (1798-1857)
Comte merupakan orang pertama yang menggunakan kata sosiologi dalam upaya mempelajari tentang perilaku manusia. Meskipun Comte yang memberikan istilah positivis, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalanya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih dari pada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini.
Comte berpendirian bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menunutut penggunaan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya, merupakan sumbangannya ang tak terhingga nilanya terhadap perkembangan sosiologi. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebaga puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui semua ilmu-ilmu lainnya.
Social statics dan social dynamics
Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian, yaitu apa yang disebut dengan social statics dan social dynamics. Dengan social statics dimaksudkannya sebagai suatu studi tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu system social. Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamics, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia.[1]
Social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang wajib daar masyarakat. Sekalipun social statics merupakan bagian yang lebih elementer dalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan social dynamic. Fungsi dari social static adalah untuk mencari hokum-hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian di dalam suatu system social.[2] 
Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner ummat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban Prancis abad ke Sembilan belas yang sangat maju. Hokum ini menjelaskan bahwa masyarakat-masyarakat (atau manusia) berkembang melalui tiga tahap utama, tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa terperinci maka Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hokum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai data pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.[3]

b)              EMILE DURKHEIM (1858-1917)
Kenyataan Fakta Sosial
Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekataan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala social itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Lebih lagi karena gejala social merupakan fakta yang riil, gejala-gejala itu dapat dipelajar dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan satu ilmu sejati tentang masyarakat dapat dikembangkan.
Di dalam bab petama dari Rules, Durkheim mendifinisikan fakta social sebagai cara-cara bertindak, berpikir dan merasa, yang berada diluar indiidu dan dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa, yang karenanya hal-hal itu mengontrol individu itu. Fakta social, menurut pendapatnya, ‘berada diluar’ diri individu dalam arti bahwa fakta itu dating kepadanya dari diluar dirinya sendiri dan menguasai tingkah lakunya.[4] Karena itu, para ilmuan social pasti memperlakukan fakta social sebagai ‘benda-benda’ dengan cara yang sama seperti ilmuan-ilmua alam memperlakukan objek-objek fisis yang kenyataannya harus mereka terima dan jelaskan.
Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala social itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual? Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda: Pertama, gejala social bersifat eksternal terhadap individu. Karakteristik fakta social yang Kedua adalah bahwa fakta itu memaksa individu. Jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, di bimbing, di yakinkan, didorong atau dengan cara tertentu di pengaruhi oleh pelbagai tipe fakta social dalam lingkungan sosialnya.
Karakteristik fakta social yang ketiga adalah bahwa fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta social itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta social benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini
Fakta social material dan nonmaterial
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta social, yaitu material dan nonmaterial. Fakta material diwakili oleh gaya arsitektur, bentuk teknologi, hokum dan perundang-undangan.  Memang relative mudah di pahami karena keduanya bisa diamati secara langsung.
Durkheim mengakui bahwa fakta social nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam pikiran manusia. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Durkheim membagi fakta social nonmaterial menjadi empat jenis; Moraitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan arus social.
 
II.            Perkembangan Teori Sosiologi di Jerman
a)            KARL MARX (1818-1883)
Alienasi
Analisa Marx tetang alenasi merupakan respons terhadap perubahan ekonomis, social, dan politis yang dia lihat di sekelilingnya. Dia tidak ingin memahami alienasi sebagai suatu masalah filosofis. Dia ingin memahami perubahan semacam apa yang dibutuhkan untuk membuat suatu masyarakat bias mengekspresikan potensi kemanusiannya secara memadai. Berkaitan dengan hal ini, Marx mengembangkan suatu pengertian penting; Sistem ekonomi kapitalis adalah sebab utama alienasi.
Alienasi terdiri dari empat unsure dasar. Pertama, para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari aktifitas produktif mereka. Kaum pekerja tidak memproduksi objek-objek berdasarkan ide-idenya mereka sendiri atau untuk secara langsung memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Kedua, pekerja tidak hanya teralienasi dari aktivitas-aktivitas produktif, akan tetapi juga dari tujuan aktivitas-aktivitas tersebut. Produk kerja mereka tidak menjadi milik mereka sendiri, melainkan menjadi milik para kapitalis yang mungkin saja menginginkan cara-cara yang mereka inginkan.
Ketiga, para pekerja di dalam kapitalisme teralienasi dari sesame pekerja. Asumsi Marx adalah bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan dan menginginkan bekerja secara kooperatif untuk mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam untuk terus bertahan.
Keempat, para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari potensi kemanusiaan mereka sendiri. Kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia kita, akan tetapi membuat kita merasa kurang menjadi manusia dan kurang menjadi diri kita sendiri.[5]
Teori Konflik
Teori konflik melihat elemen-elemen dan komponen-komponen dalam masyarakat merupakan suatu persaingan dengan kepentingan yang berbeda sehingga pihak yang satu selalu berusaha menguasai pihak yang lain. Pihak yang kuat berusaha menguasai pihak yang lemah. Dengan demikian konflik menjadi tak terhindarkan. Asumsi dasar teori konflik adalah.
a.       Struktur dan jaringan dalam masyarakat merupakan persaingan antar
kepentingan dan bahkan saling bertentangan satu sama lain.
b.      Sehingga dalam kenyataan menunjukkan bahwa system sosial dalam
masyarakat menimbulkan konflik.
c.       Karena konflik adalah sesuatu yang tak terelak, maka konflik menjadi
salah satu cirri dari system sosial.
d.      Konflik ini tampak dalam kepentingan-kepentingan dalam kelompok –
kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
e.       Selain itu konflik juga terjadi dalam pembagian sumber-sumber daya
dan kekuasaan yang tidak merata dan tidak adil.[6]
Sehingga konflik menungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dan perubahan yang akan terjadi tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik atau bisa juga sebaliknya.
Pertentangan Kelas (Teori Kelas)
Teori kelas dari Marx berdasarkan pemikiran bahwa: “sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan”. Menurut pandangannya, sejak masyarakat manusia mulai dari bentuknya yang primitive secara relative tidak berbeda satu sama lain.
Analisa Marx selalu mengemukakan bagaimana hubungan antar manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masing-masing terhadap sarana-sarana produksi, yaitu dilihat dari usaha yang berbeda dalam mendapatkan sumber-sumber daya yang langka.
Ada dua macam kelas yang ditemukan Marx ketika menganalisi kapitalisme: yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis merupakan nama khusus untuk para kaum kapitalis dalam ekonomi modern. Mereka memiliki alat-alat produksi dan mempekerjakan pekerja upahan. Pertentangan antara konflik antar kelas borjuis dan kelas proletar adalah contoh lain dari kontradiksi antara kerja dan kapitalisme.[7]

b)              MAX WEBER (1864-1920)
Tindakan Sosial
Keseluruhan sosiologi Weber didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan social. Ia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatis yang tidak melibatkan proses pemikiran. Bagi Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan social dengan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut.[8]
Bagi Weber cirri yang mencolok dari hubungan-hubungan social yang menyusun sebuah masyarakat dapat dimengerti hanya dengan mencapai sebuah pemahaman mengenai segi-segi subjektif dari kegiatan-kegiatan antar pribadi dari para anggota masyarakat itu. Oleh karena itu melalui analisis atas berbagai macam tindakan manusialah kita memperoleh pengetahuan mengenai cirri dan keanekaragaman masyarakat-masyarakat manusia.[9] 
Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularqitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa orang manusia individual. 
Weber memisahkan empat tindakan social di dalam sosiologinya, yaitu apa yang disebut:
a.       Zweck Rational (Rasionalitas instrumental), yaitu tindakan social yang menyandarkan diri kepada pertimbangan-pertimbangan manusia yang rasional ketika menanggapi lingkungan eksternalnya. Dengan perkataan lain zweck rational adalah suatu tindakan social yang ditujukan untuk mencapai tujuan semaksial mungkin dengan menggunakan dana serta daya seminimal mungkin.
b.      Wert Rational (Rasionalitas yang berorientasi nilai), yaitu tindakan social yang rasional, namun yang mendasarkan diri kepada suatu-suatu nilai absolute tertentu. Nilai-nilai yang dijadikan sandaran ini bisa nilai etis, estetika, keagamaan atau pula nilai-nilai lain. Jadi di dalam tindangan berupa wert ration ini manusia selalu menyandarkan tindakan yang rasional pada suatu keyakinan terhadap suatu nilai tersebut.
c.       Affectual (tindakan afektif), yaitu suatu tindakan social yang timbul karena dorongan atau motivasi yang sifatnya emosional. Ledakan kemarahan seseoang misalnya, atau ungkapan rasa cinta, kasihan, adalah contoh dari tindakan affectual.
d.      Tradisional, yaitu tindakan social yang didorong dan berorientasi kepada tradisi masa lampau. Tradisi di dalam pengertian ini adalah suatu kebiasaan bertindak yang berkembang di masa lampau. Mekanisme tindakan semacam ini selalu berlandaskan hukum-hukum normative yang telah ditetapkan secara tegas-tegasan oleh masyarakat.[10]

c)            GEORGE  SIMMEL (1858-1918)
Teori Pertukaran Nilai
Teori ini berangkat dari asumsi dasar ‘do ut des” artinya saya memberi supaya engkau juga memberi. Menurut Goerge Simmel peletak toeri ini, semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan memdapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Pendukung teori ini merumuskan ke dalam lima proposisi yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran atau upah atau manfaat, maka semakin sering orang tersebut akan melakukan tindakan yang sama. Misalnya, seseorang akan meminta nasihat pada seorang psikiatris, kalau ia merasa bahwa nasehat orang itu sangat berguna baginya.[11]
Jika di masa lalu ada stimulus yang khusus atau satu perangkat stimulus yang merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang mempeoleh ganjaran, maka semakin stimuli itu mirip dengan stimuli masa lalu, semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa. Contoh, seorang nelayan menebar jala di laut yang dalam dan gelap dan menangkap banyak ikan, maka ia cenderung melakukan hal yang sama kemudiannya.
Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan tindakan itu. Misalnya, apabila bantuan yang saya berikan kepada orang itu bernilai, maka kemingkinan besar saya akan melakukan tindakan yang sama lagi. Sebaliknya bila bantuan kurang bernilai, tidak mungkin diulangi lagi.
Semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut. Di sini unsure waktu memainkan peranan penting. Misalnya, apabila seseorang menerima pujian dari orang yang sama dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai pujian itu baginya.
Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka ia menjadi marah atau kecewa. Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaran yang lebih besar dari apa yang ia harapkan, maka ia merasa senang dan lebih besar kemungkinan ia melakukan perilaku yang disenanginya.
Uang Dan Nilai
Secara umum Simmel berpendapat bahwa orang menciptakan nilai dengan menciptakan objek, memisahkan dirinya dari objk-objek tersebut, dan selanjutnya berusaha mengatasi jarak, kendala dan kesulitan. Semakin besar kesulitan untuk mendapatkan suatu objek maka semakin besar pula nilainya. Prinsup umumnya adalah bahwa nilai benda berasal dari kemampuan orang untuk menjarakkan dirinya secara tepat dengan objeknya. Benda-benda yang terlalu dekat, terlalu mudah diperoleh, dan tidak terlalu berharga perlu upaya tertentu untuk agar dianggap bernilai. Sebaliknya, benda-benda yang terlalu jauh, terlalu sulit, atau nyaris diperoleh juga sangat tidak bernilai. Benda-benda yang menghalangi sebagian besar, jika tidak semua, upaya untuk memperolehnya semakin tidak bernilai di mata kita.[12]
Dalam konteks umum nilai inilah Simmel mendiskusikan uang. Dalam ranah ekonomi, uang berperan dalam menciptakan jarak dengan objek yang ditawarkan diri jadi sarana untuk mengatasi jarak tersebut. Nilai uang yang melekat pada objek dalam ekonomi modrn menyebabkan kita berjarak darinya; kita tidak dapat memperolehnya tanpa uang. Kesulitan untuk mendapatkan uang dan objek-objek tersebut menjadikannya bernilai bagi kita. Pada saat yang sama, sekali kita dapat uang yang banyak maka kita mampu mengatasi jarak antara diri kita dengan objek. Dengan demikian uang memiliki fungsi yang unik, menciptakan jarak antara orang denga objk dan kemudian menjadi sarana untuk mengatasi jarak tersebut.


KESIMPULAN
Dari penjelasan yang sangat detail dan rumit diatas maka teori-teori sosiologi dasar bisa disimpulkan menjadi sangat mudah sebagai berikut:
Nama tokoh
Masa Dedikasi
Teori-teorinya
Auguste Comte
Prancis 1798-1857
·      Social statics dan social dynamics
·      Hukum Tiga Tahap

Emile Durkheim
Prancis 1858-1917
·      Kenyataan Fakta Sosial
·      Karakteristik Fakta Sosial
·      Fakta social material dan nonmaterial

Karl Marx
Jerman 1818-1883
·      Alienasi
·      Teori Konflik
·      Pertentangan Kelas (Teori Kelas)

Max Weber
Jerman 1864-1920
·         Tindakan Sosial

George Simmel
Jerman 1858-1918
·        Teori pertukaran nilai
·        Uang Dan Nilai



DAFTAR PUSTAKA

·         Beilharz Peter, 2003, Teori-Teori Social, pent, Sigit Jatmiko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         Campbel Tom, 2001, Tujuh Teori Social, pent, Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius.
·         Johnson Doyle Paul, 1994, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
·         M. Siahaan Hotman, 1997, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, Yogyakarta: IKAPI.
·         Ritzer George, J. Goodman Douglas, 20100 Teori Sosiologi, Bantul: Kreasi Wacana.
·         Worsley Peter, 1992 Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, pent, Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: PT: Tiara Wacana Yogya.

* Penulis adalah mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat yang pada saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Umum HMJ Aqidah Filsafat IAIN Sunan Ampel

[1]  Hotman M. Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Yogyakarta: IKAPI, 1997), hal: 104-105
[2]  Ibid, hlm 111
[3]  Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994). Hlm. 84-85
[4]   Tom Campbel, Tujuh Teori Social, pent, Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 168

[5] George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Bantul: Kreasi Wacana, 2010),  hlm. 55-56
[6]  Peter Worsley, Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, pent, Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: PT: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm. 177
[7]  Ibid, hlm. 65
[8]  Peter Beilharz, Teori-Teori Social, pent, Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 364
[9]   Tom Campbel, Tujuh Teori Social, hlm. 199
[10] Hotman M. Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi,  hlm. 200
[11] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, hlm. 252
[12] George Ritzer dan Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi, hlm. 189