Rabu, 09 Maret 2011

PEMIKIRAN ABDURRAHMAN WAHID

oleh: Moh. Fathir Habibie

PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG
Pemikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya di balik gerakan ini?
Sebenarnya fahaman inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Nama Gus Dur identik dengan pluralisme. Ia menjadi rujukan kaum minoritas dan mereka yang dianggap sebagai ‘liyan’, the others. Gus Dur tak segan melawan arus besar, untuk melindungi kaum lemah. Dialah salah satu penggagas teologi pluralisme yang menghargai perbedaan. Dari mana Gus Dur mengembangkan ide-idenya? Rumadi, salah satu intelektual muda NU, mengatakan dalam sebuah wawancara, bahwa sesungguhnya Gus Dur sempat mendukung gagasan-gagasan Ikhwanul Muslim. Ikhawanul Muslimin di Indonesia saat ini diadaptasi oleh Partai Keadilan Sejahtera.

 PEMBAHASAN
A.          Biografi Gus Dur
Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur dengan nama lengkap Abdurrahman ad-dakhil putra pertama KH. Wahid Hasyim. Ayahnya adalah menteri agama pertama Indonesia yang juga merupakan putra tokoh pendiri Nahdlatl ulama, yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Waktu kecil, Gus Dur sudah mulai menghafal sebagian isi Al-Quran dan banyak puisi dalam bahasa arab. Ia memulai pendidikannya di sekolah rakyat, Jakarta. Setelah itu ia melanjutkan sekolah ke SMEP di Giwangan Yogyakarta, bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali Maksum, mantan Rais Am PBNU, dengan bertempat tinggal di rumah KH Junaid, ulama tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.[1]
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan sewaktu beranggapan bahwa kairo sudah tidak kondusif lagi dengan keinginannya. Ia pindah ke Baghdad irak dan mengambil fakultas sastra. Pada saat di Baghdad ia menunjukan minat yang serius terhadap kajian Islam di Indonesia, hingga kenudian ia dipercaya untuk meneliti asal-usul keberdaan Islam di Indonesia.[2] 
Sebagai intelektual Sunni tradisional pada umumnya, Gus Dur membangun pemikirannya melalui paradigma kontekstualisasi khazanah pemikiran sunni klasik.[3] Oleh karena itu wajar saja jika yang menjadi kepedulian utamanya minimal menyangkut tiga hal. Pertama, revitalisasi khazanah Islam tradisional Ahl-As-Sunnah Wal Jama’ah. Kedua, ikut berkiprah dalam wacana modernitas; dan ketiga, berupaya melakukan pencarian jawaban atas persoalan konkret yang dihadapi umat Islam indonesia. Corak pemikiran Gus Dur yang liberal dan inklusif sangat dipengaruhi oleh penelitiannya yang panjang terhadap khazanah pemikiran Islam tradisional yang kemudian menghasilkan reinterpretasi dan kontekstualisasi.[4]
Jika dilacak, dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, kultur dunia pesantren yang sangat hirarkis, penuh dengan etika yang serba formal, dan apreciate dengan budaya lokal. Kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; dan ketiga, lapisan budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Semua lapisan kultural itu tampaknya terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur mebentuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Ia selalu berdialog dengan semua watak budaya tersebut. Dan inilah barangkali anasir yang menyebabkan Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan tidak segera mudah dipahami, alias kontroversi.[5]

B.           Peta Pemikirannya Gus Dur
1.      Penebar Pluralisme
Gus Dur adalah seorang yang berdiri ditengah-tengah suatu masa yang dibangun dalam sebuah tatanan yang sangat monolitik, baik pada tataran ideology, politik, kebudayaan dan keagamaan. Ini kalau kita tempatkan Gus Dur dalam seluruh kerangka orde baru sejak tahun 1965 hingga 80-an, yang waktu itu masyarakat benar-benar hendak dijuruskan pada suatu tatanan kehidupan dan tata pikir yang uniform. Gejala proses uniformitas (penyeragaman) tampak dalam bidang ideology, pendidikan dan aturan-aturan keorganisasian yang seharusnya memuat aspirasi masyarakat yang pluralistic.
Gagasan Gus Dur mengenai toleransi dan dialog antar agama atau antariman inheren dalam pemikirannya mengenai pluralisme. Apabila seseorang berpikir positif tentang pluralisme, maka otomatis di dalamnya sudah ada unsur-unsur yang menunjukkan sikap toleran terhadap keberbedaan. Dialog dan toleransi pada kaum intelektual dan rohanian katolik sebenarnya sudah cukup maju dan eksplisit, khususnya jika merujuk pada dokumen yang terkenal dengan sebutan dokumen Vatican Council kedua. Dokumen ini didalamnya memuat nilai-nilai sikap, dan penghargaan-penghargaan baru terhadap agama-agama lain. Ketika Gus Dur bertemu dengan kelompok semacam ini dari kalangan kristen, maka dia tidak merasa asing dengan pola pikir keagamaan atau teologi yang memang sangat toleran dan secara positif mengakui keagungan serta kesucian iman yang berada diluar horison keIslaman. Dalam hal ini gusdur mempunyai semacam sikap teologi tertentu yang bukan sekadar bersikap toleran dan dialogis, tetapi juga bersikap menghargai keberbedaan agama-agama tersebut.
Ada dua hal penting yang harus diperhatikan berkenaan dengan sikap dialogis yang ditujukan pada dua cabang dalam kehidupan agama. Pertama, Gus Dur sendiri berpendapat bahwa perbedaan agama-agama cenderung merupakan perbedaan yang berada dalam tataran kemanusiaan. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya yang menjadi hakim untuk mengatakan seseorang masuk surga dan neraka adalah Tuhan sendiri.[6]   Baik agamawan, rohaiawan, kiai, muballigh, atau wali sekalipun tidak bisa melakukan judgment atau penghakiman kepada orang  selama di dunia. Karena Gus Dur sadar bahwa ada banyak hal tersembunyi dalam kehidupan seseorang selama hidup di dunia ini, dan itu hanya tuhan yang tahu. Oleh sebab itu maka tuhanlah yang akan menentukan apakah seseorang itu benar atau salah hari akhir nanti. Pemikiran itu saya rasa merupakan semacam ”radikalisme dalam teologi”, yang sekarang ini lebih dikenal dengan ”teologi universal”. Teologi universal menempatkan kebenaran agama-agama hanya di dalam kerangka kemutlakan tuhan. Jadi hanya allah yang maha mutlak. Selain itu bersifat relatif, termasuk didalamnya iman yang dipercayai oleh orang-orang diseluruh dunia. Saya rasa ini menjadi basis teologi yang membuat umat manusia tidak nervous dengan keberbedaan-keberbedaan yang ada pada agama-agama atau orang-orang yang beriman.
Kedua, Gus Dur juga melangkah pada segi-segi yang lebih praktis. Bagi Gus Dur, praksis agama menjadi sesuatu yang sangat esensial di dalam hubungan antaragama yang didasari oleh toleransi dan langkah yang sangat konkrit. Sebagai bukti, gusdur melakukan kerjasama dengan siapa saja secara terbuka, baik dalam kelompok kristen, hindu, budha, maupun kelompok Islam yang lain. Meski kemudian banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok sekuler yang tidak terlalu banyak mempersoalkan doktrin-doktrin atau dogma-dogma agama adalah perkembangan lain.[7]

2.      Tidak Ada Negara Islam
Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan disini, karena memang sangat berarti dalam kepastian legalitas dari suatu pemahaman yang sampai saat ini masih terasa tidak jelas apakah sebenarnya yang ada pada Islam. Apah memang ada suatu konsep negara Islam dalam agama Islam sendiri atau memang tidak ada sama sekali.
Pertanyaan diatas oleh Gus Dur dijawab dengan tegas dan sederhana bahwa Islam tidak pernah menganjurkan pembentukan negara Islam. Islam hanyalah seagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.[8] Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti pergantian pemimpin. Rasulullah saw digantikan Sayyidina Abu Bakar-tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin minimal di madinah menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari semua sepakat bahwa sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at / prasetia. Ketika Sayyidina Abu Bakar sebelum wafat menyatakan kepada pada komunitas muslimin hendaknya umar bin khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukan pengganti, sebelum yang digantikan wafat.. ini tentu saja sama dengan penunjukan seorang wakil presiden oleh seorang presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar  sudah ada pada masa kritisnya dan masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilihan (electoral collage- ahl halli wal aqdli), yang terdiri dari tujuh orang termasuk anaknya sendiri, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu bersepakatlah mereka untuk mengangkat Usman Bin Affan sebaga kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya Usman digantikan Ali Bin Abi Thalib dan hal ini tanpa ada penunjukan dari Usman.
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerinahan bagi kaum muslimin. Pada masanya Umar Bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur  atlantik hingga asia tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara-kota (city state) yang menjadi konseptualnya.
Para penganjur ”negara Islam” selalu menggunakan dua firman allah swt dalam kitab suci Al-Quran sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka selalu mengemukakan bahwa kitab suci tersebut enyebutkan; ”masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan” (QS. Al-baqarah : 208), yang jelas-jelas harus ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotong-potong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain. Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan ”terkena” firman tuhan dalam kitab suci tersebut; ”tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya” (QS. Al-mu’minun : 53) dengan mementingkan ”milik sendiri” itu, mereka melupakan firman lain : ”dan tiadalah Ku-utus Engkau ya muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia” (QS. Al-Anbiya’: 107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun sedikit yang diperhatikan kaum muslimin.[9]
Firman Tuhan berikutnya yang sering dijadikan landasan bagi gagasan negara Islam; ”hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (QS. Al-Maidah: 3) firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem kenegaraan yang ”berbau negara”.[10] Diandaikan, tanpa negara, Islam tidak dapat terwujud dengan sempurna. Dengan demikian permasalahannya menjadi jelas bagi kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif kita harus mendirikan negara Islam sebagai ”perintah agama” yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melasanakannya merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin dimanapun mereka berada.
Gus Dur berpandangan bahwa tidak ada perintah untuk mendirikan negara Islam, berdasarkan ketiadaan konsepnya dalam nash Al-Quran. Karena dalam Al-Quran tidak ada konsep ad-daulatu (negara, pemerintahan), dan tidak diaturnya model suksesi yang tetap. Padahal suksesi adalah persoalan yang sangat penting dalam suatu konsepsi model pemerintahan.[11] Dengan begitu, maka menjadi jelas bahwa tidak ada konsep teori kenegaraan, yang berbeda dari konsep-konsep yang lainnya.
Secara teoritis menurut Gus Dur terdapat dua model pemikiran tentang negara dalam pandangan Islam. Pertama, adalah pemikiran idealistik yang dalam kerangka pemikirannya telah secara sadar dirumuskan sebuah kerangka negara yang sepenuhnya berdasarkan wawasan Islam. Dalam pandangan ini Islam merupakan sebuah konsep kenegaraan yang harus diwujudkan secara penuh, dalam sebuah bangunan masyarakat yang seratus persen Islami. Kedua, jenis pemikiran realistik yang tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam. Pikiran ini lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis negara dapat ditampung dalam Islam.[12]
Gus Dur mendasarkan pemikirannya tentang konsepsi Islam dan negara dengan menggunakan metode fungsionalisme (struktural). Sebab baginya, perumusan hubungan yang tepat antara relasi agama dan negara harus menggunakan sudut pandang fungsional.[13] Yaitu keharusan membacanya dalam suatu kerangka bahwa antara agama dan negara mempunyai fungsi sosial dalam masyarakat. Karena itu meski pada dasarnya antara agama dan negara mempunyai fungsi yang berbeda, namun antara satu dan yang lainnya tidak bisa saling menegasikan, atau dengan kata lain yang satu tidak bisa hidup dengan yanpa kehadiran yang lainnya. Dengan begitu pola yang digunakan Gus Dur adalah metode keseimbangan dengan menekankan pada terciptanya keharmonisan.
Selain menolak diberlakukannya agama sebagai ”ideologi alternatif”, gus dur juga menolak diberlakukannya agama sebagai sebuah suplemen (pelengkap) dalam negara, yang justru akan mengakibatkan kecilnya penghargaan negara terhadap hak asasi manusia dan tidak mendukung tegaknya kedaulatan hukum serta kecilnya ruang gerak bagi kebebasan berbicara dan berpendapat. Dengan posisiya yang bersifat suplementer, hubungan agama dan negara justru akan bersifat manipulatif, yaitu sekedar menyediakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi bagi kekuasaan.[14]
3.      Pribumisasi Islam
Ada dua tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema pribumisasi Islam. Pertama, ”salahkah jika dipribumikan? Tulisan kolomnya di majalah tempo pada 16 juli 1983, dan kedua, ”pribumisasi Islam”, antologi tulisan dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im saleh. Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang.[15] Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memang mempunyai wilayah tumpang tindih, sebagaiman filsafat dan ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Di antara keduanya (agama dan budaya) terjadi tumpang tindih dan sekaligus perbedaan-perbedaannya.
”Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman  yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah hukum itu sendiri. ”pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawaid al-fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan.[16]
Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keilamannya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa arab, terutama dalam solat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan Al-Quran hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan Al-Quran itu sendiri.
Proses pergulatan dengan kenyataan kebudayaan tidaklah dimaksudkan merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Oleh karena itu yang dipribumikan sebagai fokus-menurut gus dur- adalah manifestasi kehidupan agama Islam, bukan ajaran Islam yang menyangkut inti keimanandan peribadatan formal. Kata Gus Dur, Islam harus tetap Islam dimanapun saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya. Disini, kata Gus Dur harus ada titik temu antara Islam dan budaya.[17]
Salah satu lontarannya sebagai implementasi gagasan ”pribumisasi Islam”, yang pernah mengandung kontroversi, yaitu ”assalamu’alaikum” yang disamakan oleh Gus Dur dengan ”ahlan wa sahlan atau shabah al-khayr”. Artinya, kata Gus Dur, assalamu’alaikum bisa diganti dengan ”selamat pagi” atau ”apa kabar”. Gagasannya untuk ”pribumisasi Islam” ini karuan saja membuat geger di kalangan NU.sampai akhirnya sekitar 200 kiai berkumpul di pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon untuk mengadili Gus Dur.  

KESIMPULAN
            Islam bagi Gus Dur harus ditempatkan sebagai agama yang benar-benar rahmatan lil alamin, termasuk bagi mereka yang tidak beragama islam tanpa harus memeluknya sebagai agama. Dengan demikian, islam datang sebagai agama yang dapat dinikmati oleh semua orang. Hal ini menurut Gus Dur bisa terwujud tanpa harus menjelma sebagai ”ideologi negara” yang sifatnya mengikat seluruh warga negara. Menjadikan islam atau atau agama apapun juga sebagai ”ideologi alternatif” dalam negara yang pluralistik justru akan memicu terjadinya disintegrasi bangsa.
Bagi Gus Dur tidak ada konsep kenegaraan yang baku dalam islam. Sebab dalam Al-Quran sendiri tidak ada term ad-dawlah ataupun baldah yang bermakna politis. Selain itu tidak ada pula petunjuk pelaksanaan yang secara teknis berasal dari Nabi Muhammad Saw. Di samping tidak adanya tradisi sejarah islam yang baku yang berkaitan dengan suksesi pemerintahan. Dengan begitu bagi Gus Dur, yang terpenting bukanlah formalisme islam secara institusional melainkan termanifestasikannya ajaran islam dalam etis masyarakat.
Gagasan ”pribumisasi Islam” dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problema yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (’adah) dengan norma (syariah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang. ”Pribumisasi Islam” dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman  yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa merubah hukum itu sendiri. ”pribumisasi Islam” bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawaid al-fiqh. Disini, wahyu-dalam pandangan gus dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan

DAFTAR PUSTAKA

Ø    Wahid Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute 2006)
Ø    Wahid Abdurrahman, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Ø    Wahid Abdurrahman, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999)
Ø    al-Brebesy Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Ø    al-Brebesy Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Ø    M. Bukhori Pahrroji, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Bantul: Pondok Sanusi 2003)
Ø    Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000)
Ø    Masdar Umaruddin, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)


[1]   Pahrurroji M. Bukhori, Membebaskan Agama Dari Negara; Pemikiran Abdurrahman Wahid Dan Ali Abd Ar-Raziq (Bantul: Pondok Sanusi 2003), hlm. 60-62
[2]    Ma’mun Murod al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hlm. 99
[3] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur Dan Amien Rais Tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm 121
[4]   Ibid, hlm. 126
[5] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm 39
[6] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm, 108
[7] Ibid, hlm 109
[8] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute 2006), hlm. 81
[9] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute 2006), hlm. 12
[10] Ibid, hlm. 13
[11] Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 16
[12] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama Dan Negara (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hlm. 55-56
[13] Ibid, hlm. 74
[14]  Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm 249
[15] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm 43
[16] Tim INCReS, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran Dan Gerakan Gus Dur (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2000), hlm 44
[17] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar