Selasa, 08 Maret 2011

TEORI-TEORI DASAR SOSIOLOGI DAN PARA TOKOH-TOKOHNYA

oleh : Moh. Fathir Habibie*


A.    PENDAHULUAN
Istilah teori sosiologi memiliki arti dan penggunaan yang beraneka ragam. Keanekaragaman sedemikian ini sering membingungkan para sosiolog dan orang-orang yang mempelajari ilmu sosiologi, karena antara dua orang atau lebih mungki saja tidak sepaham mengenai arti teoretis dari sebuah ide (pemikiran). Kesalahpahaman sedemikian ini menyebabkan sesuatu ide tertentu bisa hilang atau salah diinterpretasikan. Oleh karena ini adalah bijaksana kalau kita mencoba memahami secara sungguh-sungguh aneka ragam istilah teori dalam sosiologi.
Dahulu, biasanya teori-teori muncul sebagai suatu hasil dari upaya orang untuk memahami suatu hal yang merupakan teka-teki baginya. Teori-teori itu tumbuh Karena adanya masalah pokok yang kita namakan problem-problem praktis.
Teori adalah alat untuk memahami kenyataan. Teori sebagai alat untuk menyatakan hubungan sistematik antara fenomena atau gejala yang hendak diteliti. Pernyataan ini mengandung arti bahwa teori selalu lahir dari kenyataan dan selalu diuji pula dalam kenyataan.
Kalau demikian halnya, teori sosiologi selalu lahir dari kenyataan sosiologi. Dia akan merupakan refleksi dari keadaan masyarakat yang digambarkannya. Karena pada kenyataannya tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, maka teori-teori sosiologi juga tidak ada yang tidak mengalami perubahan. Dia akan tumbuh, berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Seiring perkembangan realitas yang ada di masyarakat.

B.    PEMBAHASAN
I.      Perkembangan Teori Sosiologi di Prancis
a)         AUGUSTE COMTE (1798-1857)
Comte merupakan orang pertama yang menggunakan kata sosiologi dalam upaya mempelajari tentang perilaku manusia. Meskipun Comte yang memberikan istilah positivis, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalanya. Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih dari pada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini.
Comte berpendirian bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menunutut penggunaan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya, merupakan sumbangannya ang tak terhingga nilanya terhadap perkembangan sosiologi. Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebaga puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui semua ilmu-ilmu lainnya.
Social statics dan social dynamics
Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian, yaitu apa yang disebut dengan social statics dan social dynamics. Dengan social statics dimaksudkannya sebagai suatu studi tentang hokum-hukum aksi dan reaksi antara bagian-bagian dari suatu system social. Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamics, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat manusia.[1]
Social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang wajib daar masyarakat. Sekalipun social statics merupakan bagian yang lebih elementer dalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan social dynamic. Fungsi dari social static adalah untuk mencari hokum-hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian di dalam suatu system social.[2] 
Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner ummat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban Prancis abad ke Sembilan belas yang sangat maju. Hokum ini menjelaskan bahwa masyarakat-masyarakat (atau manusia) berkembang melalui tiga tahap utama, tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik, dan positif.
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia, dan untuk analisa terperinci maka Comte membaginya kedalam periode fetisisme, politeisme dan monoteisme.
Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hokum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai data pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak; semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas.[3]

b)              EMILE DURKHEIM (1858-1917)
Kenyataan Fakta Sosial
Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekataan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala social itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Lebih lagi karena gejala social merupakan fakta yang riil, gejala-gejala itu dapat dipelajar dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan satu ilmu sejati tentang masyarakat dapat dikembangkan.
Di dalam bab petama dari Rules, Durkheim mendifinisikan fakta social sebagai cara-cara bertindak, berpikir dan merasa, yang berada diluar indiidu dan dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa, yang karenanya hal-hal itu mengontrol individu itu. Fakta social, menurut pendapatnya, ‘berada diluar’ diri individu dalam arti bahwa fakta itu dating kepadanya dari diluar dirinya sendiri dan menguasai tingkah lakunya.[4] Karena itu, para ilmuan social pasti memperlakukan fakta social sebagai ‘benda-benda’ dengan cara yang sama seperti ilmuan-ilmua alam memperlakukan objek-objek fisis yang kenyataannya harus mereka terima dan jelaskan.
Karakteristik Fakta Sosial
Bagaimana gejala social itu benar-benar dapat dibedakan dari gejala yang benar-benar individual? Durkheim mengemukakan dengan tegas tiga karakteristik yang berbeda: Pertama, gejala social bersifat eksternal terhadap individu. Karakteristik fakta social yang Kedua adalah bahwa fakta itu memaksa individu. Jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, di bimbing, di yakinkan, didorong atau dengan cara tertentu di pengaruhi oleh pelbagai tipe fakta social dalam lingkungan sosialnya.
Karakteristik fakta social yang ketiga adalah bahwa fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, fakta social itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta social benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini
Fakta social material dan nonmaterial
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta social, yaitu material dan nonmaterial. Fakta material diwakili oleh gaya arsitektur, bentuk teknologi, hokum dan perundang-undangan.  Memang relative mudah di pahami karena keduanya bisa diamati secara langsung.
Durkheim mengakui bahwa fakta social nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam pikiran manusia. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Durkheim membagi fakta social nonmaterial menjadi empat jenis; Moraitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan arus social.
 
II.            Perkembangan Teori Sosiologi di Jerman
a)            KARL MARX (1818-1883)
Alienasi
Analisa Marx tetang alenasi merupakan respons terhadap perubahan ekonomis, social, dan politis yang dia lihat di sekelilingnya. Dia tidak ingin memahami alienasi sebagai suatu masalah filosofis. Dia ingin memahami perubahan semacam apa yang dibutuhkan untuk membuat suatu masyarakat bias mengekspresikan potensi kemanusiannya secara memadai. Berkaitan dengan hal ini, Marx mengembangkan suatu pengertian penting; Sistem ekonomi kapitalis adalah sebab utama alienasi.
Alienasi terdiri dari empat unsure dasar. Pertama, para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari aktifitas produktif mereka. Kaum pekerja tidak memproduksi objek-objek berdasarkan ide-idenya mereka sendiri atau untuk secara langsung memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Kedua, pekerja tidak hanya teralienasi dari aktivitas-aktivitas produktif, akan tetapi juga dari tujuan aktivitas-aktivitas tersebut. Produk kerja mereka tidak menjadi milik mereka sendiri, melainkan menjadi milik para kapitalis yang mungkin saja menginginkan cara-cara yang mereka inginkan.
Ketiga, para pekerja di dalam kapitalisme teralienasi dari sesame pekerja. Asumsi Marx adalah bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan dan menginginkan bekerja secara kooperatif untuk mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam untuk terus bertahan.
Keempat, para pekerja dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari potensi kemanusiaan mereka sendiri. Kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia kita, akan tetapi membuat kita merasa kurang menjadi manusia dan kurang menjadi diri kita sendiri.[5]
Teori Konflik
Teori konflik melihat elemen-elemen dan komponen-komponen dalam masyarakat merupakan suatu persaingan dengan kepentingan yang berbeda sehingga pihak yang satu selalu berusaha menguasai pihak yang lain. Pihak yang kuat berusaha menguasai pihak yang lemah. Dengan demikian konflik menjadi tak terhindarkan. Asumsi dasar teori konflik adalah.
a.       Struktur dan jaringan dalam masyarakat merupakan persaingan antar
kepentingan dan bahkan saling bertentangan satu sama lain.
b.      Sehingga dalam kenyataan menunjukkan bahwa system sosial dalam
masyarakat menimbulkan konflik.
c.       Karena konflik adalah sesuatu yang tak terelak, maka konflik menjadi
salah satu cirri dari system sosial.
d.      Konflik ini tampak dalam kepentingan-kepentingan dalam kelompok –
kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
e.       Selain itu konflik juga terjadi dalam pembagian sumber-sumber daya
dan kekuasaan yang tidak merata dan tidak adil.[6]
Sehingga konflik menungkinkan terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dan perubahan yang akan terjadi tentu saja perubahan ke arah yang lebih baik atau bisa juga sebaliknya.
Pertentangan Kelas (Teori Kelas)
Teori kelas dari Marx berdasarkan pemikiran bahwa: “sejarah dari segala bentuk masyarakat dari dulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan”. Menurut pandangannya, sejak masyarakat manusia mulai dari bentuknya yang primitive secara relative tidak berbeda satu sama lain.
Analisa Marx selalu mengemukakan bagaimana hubungan antar manusia terjadi dilihat dari hubungan antara posisi masing-masing terhadap sarana-sarana produksi, yaitu dilihat dari usaha yang berbeda dalam mendapatkan sumber-sumber daya yang langka.
Ada dua macam kelas yang ditemukan Marx ketika menganalisi kapitalisme: yaitu kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis merupakan nama khusus untuk para kaum kapitalis dalam ekonomi modern. Mereka memiliki alat-alat produksi dan mempekerjakan pekerja upahan. Pertentangan antara konflik antar kelas borjuis dan kelas proletar adalah contoh lain dari kontradiksi antara kerja dan kapitalisme.[7]

b)              MAX WEBER (1864-1920)
Tindakan Sosial
Keseluruhan sosiologi Weber didasarkan pada pemahamannya tentang tindakan social. Ia membedakan tindakan dengan perilaku yang murni reaktif. Mulai sekarang konsep perilaku dimaksudkan sebagai perilaku otomatis yang tidak melibatkan proses pemikiran. Bagi Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan-tindakan social dengan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut.[8]
Bagi Weber cirri yang mencolok dari hubungan-hubungan social yang menyusun sebuah masyarakat dapat dimengerti hanya dengan mencapai sebuah pemahaman mengenai segi-segi subjektif dari kegiatan-kegiatan antar pribadi dari para anggota masyarakat itu. Oleh karena itu melalui analisis atas berbagai macam tindakan manusialah kita memperoleh pengetahuan mengenai cirri dan keanekaragaman masyarakat-masyarakat manusia.[9] 
Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tak lain adalah memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularqitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa orang manusia individual. 
Weber memisahkan empat tindakan social di dalam sosiologinya, yaitu apa yang disebut:
a.       Zweck Rational (Rasionalitas instrumental), yaitu tindakan social yang menyandarkan diri kepada pertimbangan-pertimbangan manusia yang rasional ketika menanggapi lingkungan eksternalnya. Dengan perkataan lain zweck rational adalah suatu tindakan social yang ditujukan untuk mencapai tujuan semaksial mungkin dengan menggunakan dana serta daya seminimal mungkin.
b.      Wert Rational (Rasionalitas yang berorientasi nilai), yaitu tindakan social yang rasional, namun yang mendasarkan diri kepada suatu-suatu nilai absolute tertentu. Nilai-nilai yang dijadikan sandaran ini bisa nilai etis, estetika, keagamaan atau pula nilai-nilai lain. Jadi di dalam tindangan berupa wert ration ini manusia selalu menyandarkan tindakan yang rasional pada suatu keyakinan terhadap suatu nilai tersebut.
c.       Affectual (tindakan afektif), yaitu suatu tindakan social yang timbul karena dorongan atau motivasi yang sifatnya emosional. Ledakan kemarahan seseoang misalnya, atau ungkapan rasa cinta, kasihan, adalah contoh dari tindakan affectual.
d.      Tradisional, yaitu tindakan social yang didorong dan berorientasi kepada tradisi masa lampau. Tradisi di dalam pengertian ini adalah suatu kebiasaan bertindak yang berkembang di masa lampau. Mekanisme tindakan semacam ini selalu berlandaskan hukum-hukum normative yang telah ditetapkan secara tegas-tegasan oleh masyarakat.[10]

c)            GEORGE  SIMMEL (1858-1918)
Teori Pertukaran Nilai
Teori ini berangkat dari asumsi dasar ‘do ut des” artinya saya memberi supaya engkau juga memberi. Menurut Goerge Simmel peletak toeri ini, semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan memdapatkan kembali dalam jumlah yang sama. Pendukung teori ini merumuskan ke dalam lima proposisi yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran atau upah atau manfaat, maka semakin sering orang tersebut akan melakukan tindakan yang sama. Misalnya, seseorang akan meminta nasihat pada seorang psikiatris, kalau ia merasa bahwa nasehat orang itu sangat berguna baginya.[11]
Jika di masa lalu ada stimulus yang khusus atau satu perangkat stimulus yang merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang mempeoleh ganjaran, maka semakin stimuli itu mirip dengan stimuli masa lalu, semakin besar kemungkinan orang itu melakukan tindakan serupa. Contoh, seorang nelayan menebar jala di laut yang dalam dan gelap dan menangkap banyak ikan, maka ia cenderung melakukan hal yang sama kemudiannya.
Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin senang seseorang melakukan tindakan itu. Misalnya, apabila bantuan yang saya berikan kepada orang itu bernilai, maka kemingkinan besar saya akan melakukan tindakan yang sama lagi. Sebaliknya bila bantuan kurang bernilai, tidak mungkin diulangi lagi.
Semakin sering seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai ganjaran tersebut. Di sini unsure waktu memainkan peranan penting. Misalnya, apabila seseorang menerima pujian dari orang yang sama dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang bernilai pujian itu baginya.
Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman, maka ia menjadi marah atau kecewa. Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaran yang lebih besar dari apa yang ia harapkan, maka ia merasa senang dan lebih besar kemungkinan ia melakukan perilaku yang disenanginya.
Uang Dan Nilai
Secara umum Simmel berpendapat bahwa orang menciptakan nilai dengan menciptakan objek, memisahkan dirinya dari objk-objek tersebut, dan selanjutnya berusaha mengatasi jarak, kendala dan kesulitan. Semakin besar kesulitan untuk mendapatkan suatu objek maka semakin besar pula nilainya. Prinsup umumnya adalah bahwa nilai benda berasal dari kemampuan orang untuk menjarakkan dirinya secara tepat dengan objeknya. Benda-benda yang terlalu dekat, terlalu mudah diperoleh, dan tidak terlalu berharga perlu upaya tertentu untuk agar dianggap bernilai. Sebaliknya, benda-benda yang terlalu jauh, terlalu sulit, atau nyaris diperoleh juga sangat tidak bernilai. Benda-benda yang menghalangi sebagian besar, jika tidak semua, upaya untuk memperolehnya semakin tidak bernilai di mata kita.[12]
Dalam konteks umum nilai inilah Simmel mendiskusikan uang. Dalam ranah ekonomi, uang berperan dalam menciptakan jarak dengan objek yang ditawarkan diri jadi sarana untuk mengatasi jarak tersebut. Nilai uang yang melekat pada objek dalam ekonomi modrn menyebabkan kita berjarak darinya; kita tidak dapat memperolehnya tanpa uang. Kesulitan untuk mendapatkan uang dan objek-objek tersebut menjadikannya bernilai bagi kita. Pada saat yang sama, sekali kita dapat uang yang banyak maka kita mampu mengatasi jarak antara diri kita dengan objek. Dengan demikian uang memiliki fungsi yang unik, menciptakan jarak antara orang denga objk dan kemudian menjadi sarana untuk mengatasi jarak tersebut.


KESIMPULAN
Dari penjelasan yang sangat detail dan rumit diatas maka teori-teori sosiologi dasar bisa disimpulkan menjadi sangat mudah sebagai berikut:
Nama tokoh
Masa Dedikasi
Teori-teorinya
Auguste Comte
Prancis 1798-1857
·      Social statics dan social dynamics
·      Hukum Tiga Tahap

Emile Durkheim
Prancis 1858-1917
·      Kenyataan Fakta Sosial
·      Karakteristik Fakta Sosial
·      Fakta social material dan nonmaterial

Karl Marx
Jerman 1818-1883
·      Alienasi
·      Teori Konflik
·      Pertentangan Kelas (Teori Kelas)

Max Weber
Jerman 1864-1920
·         Tindakan Sosial

George Simmel
Jerman 1858-1918
·        Teori pertukaran nilai
·        Uang Dan Nilai



DAFTAR PUSTAKA

·         Beilharz Peter, 2003, Teori-Teori Social, pent, Sigit Jatmiko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·         Campbel Tom, 2001, Tujuh Teori Social, pent, Budi Hardiman, Yogyakarta: Kanisius.
·         Johnson Doyle Paul, 1994, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
·         M. Siahaan Hotman, 1997, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, Yogyakarta: IKAPI.
·         Ritzer George, J. Goodman Douglas, 20100 Teori Sosiologi, Bantul: Kreasi Wacana.
·         Worsley Peter, 1992 Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, pent, Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: PT: Tiara Wacana Yogya.

* Penulis adalah mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat yang pada saat ini juga menjabat sebagai Sekretaris Umum HMJ Aqidah Filsafat IAIN Sunan Ampel

[1]  Hotman M. Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Yogyakarta: IKAPI, 1997), hal: 104-105
[2]  Ibid, hlm 111
[3]  Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, pent, Robert M.Z. Lawang (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994). Hlm. 84-85
[4]   Tom Campbel, Tujuh Teori Social, pent, Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 168

[5] George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Bantul: Kreasi Wacana, 2010),  hlm. 55-56
[6]  Peter Worsley, Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, pent, Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: PT: Tiara Wacana Yogya, 1992), hlm. 177
[7]  Ibid, hlm. 65
[8]  Peter Beilharz, Teori-Teori Social, pent, Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 364
[9]   Tom Campbel, Tujuh Teori Social, hlm. 199
[10] Hotman M. Siahaan, Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi,  hlm. 200
[11] Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, hlm. 252
[12] George Ritzer dan Douglas J.Goodman, Teori Sosiologi, hlm. 189

1 komentar: