Selasa, 08 Maret 2011

TUHANPUN AKU TANTANG; Restorasi di kampus tak bertuhan


oleh: Moh. Fathir Habibie

A.           LATAR BELAKANG
Setiap manusia yang dilahirkan pasti sudah memiliki rasa iman dan percaya akan Tuhan. Terlepas dari tendensi apapun hal itu pasti sudah melekat dengan kejiwaan manusia. Sampai kapanpun manusia akan selalu berhubungan dengan Tuhan yang konon merupakan pencipta awal dari manusia. Kata Tuhan merupakan sesuatu yang sangat super sekali sehingga acapkali wilayah ketuhanan merupakan sesuatu yang sangat sacral dan tidak bisa dijelajahi oleh akal fikiran manusia. Ada juga yang bilang kalau Tuhan tidak bisa digugah dan bahkan dipermainkan sama sekali dan ada pula yang bilang kalau Tuhan tidak bisa dijangkau oleh manusia. Namun terlepas dari semua itu substansi yang ada hanyalah dimungkinkan adanya satu penyebab dari suatu akibat yang Maha Besar ini.
Keberadaan manusia yang beriman dan percaya kepada yang namanya The Greet Power sudah biasa dan sangat lumrah sekali, namun sangatlah bervariasi dalam setiap diri manusia untuk mengungkapkan jati diri Maha Penggeraknya penggerak. Ada yang memahami dengan mendapatkan informasi dari jalur nasab alias keturunan dengan modus doktriner, ada yang menerima melalui jalan doktrinisasi dari sang guru dan ada pula yang menerima informasi dengan melalui jalan perenungan diri dan proses internalisasi yang sangat mendalam tanpa adanya pengekangan dari nuansa doktriner. Persoalannya yang terletak disini adalah sebenarnya pengetahuan akan ke-Esa-an The Greet Power ala doktriner sangatlah menempakkan kedangkalan dalam memahami dan mengetahuai substansi yang sebenarnya. Paham doktriner yang sering kali menyebabkan seseorang terperangkap dalam kungkungan penafsiran yang sifatnya terbatas dan tidak tahu akan hakekat dari ke Maha Esa-annya Tuhan.
Acapkali orang yang mendapatkan pengetahuan dari doktriner itu hanya memiliki pondasi dasar ke-Tuhanan yang sangat dangkal, gampang percaya tanpa ada uji kelayakan dulu, gampang menyalahkan orang lain yang tidak sepaham dengan pendirian dan paham yang mereka peroleh, dan yang terakhir mereka hanyalah tahu akan The Greet Power sebagai label tanpa tahu hakekat yang sebenarnya. Mereka terjebak pada tataran label saja dan menfinalkan
Istilah “Tuhan pun Aku Tantang” merupakan penegasan dari upaya penantangan terhadap pemahaman dan doktrin ke-Tuhanan yang dipahami Maba (Mahasiswa Baru) yang sudah membatu dalam hati. Penantangan disini bersifat me-Rekonstruksi ulang paham doktiner ideology mereka seputar ke-Tuhanan yang mulanya hanyalah mengutamakan label saja tanpa mempentingkan substansi yang sebenarnya. Pemaknaaan yang sesungguhnya sudah banyak diabaikan dalam tataran teoritis dan praktisnya pun. 
Istilah “Restorasi Jati Diri di Kampus tak berTuhan” merupakan upaya untuk melakukan pembenahan dan memberikan arahan kembali seputar paradigma dari pemahaman bagaimana ber-Tuhan ala substansial yang hal ini tidak lagi terkekang pada labelisasi semata. Adanya pembenahan kembali semacam ini juga bertujuan untuk memperkuat landasan teologi dengan argumentative yang rasional dan bias dipertanggung jawabkan secara proporsional.

B.                PEMBAHASAN
a.      Menggugat Identitas Ke-Esa-An Tuhan; antara label dan kesadaran
Pada mulanya manusia, manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan Penyebab Pertama bagi segala sesuatu dan Penguasa langit dan Bumi.Dia tidak terwakili oleh gambaran apapun dan tidak memiliki kuil atau pendeta yang mengabdi kepadanya. Berbicara soal Tuhan dan bentuk ke-Esa-annya merupakan pembahasan yang sangat rumit sekali karena hal semacam ini sudah masuk pada wilayah territorial Agama. Kendatipun demikian apakah salah jika ada semacam penyusupan kewilayah yang dianggap sangat sacramental tersebut..!!! Apapun agamanya namun semua agama berkeyakinan bahwa Tuhan mereka secara esensinya dipredikatkan sebagai entitas yang Satu, Tunggal ataupun Esa. Ada keserentakan dalam hal pemahaman untuk memurnikan akan esensi Tuhan walaupun memang secara praktisnya ada semacam letak perbedaan dalam penyimbolannya. Hal semacam ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan dalam cara pendekatannya saja. Dimanapun keberadaannya sangatlah mempengaruhi pola pikir manusia dalam menentukan identitas dari sang Tuhan.
Setiap individu pada dasarnya mempunyai kemampuan untuk menafsirkan dan menentukan seperti apa desain dari esensi Tuhannya sesuai dengan batas kemampuan akal mereka. Yang pasti pemaknaan dari semua inividu akan kekuatan yang Maha Penggerak dimaknai sebagai sesuatu yang  Maha Dahsyat yang mempunyai daya kekuatan besar (The Great Power). Makanya kita disini harus memposisikan diri sebagai individu yang bebas dan terlepas dari intervensi doktrin yang disuguhkan oleh para pendahulu kita. Maksud disini bahwa sudah tibalah kita menjajaki dan menemukan hakekat The Great Power yang sesungguhnya. Bukan lagi terbatasi pada label kemutlakan Allah dalam agama Islam, Yesus dalam agama Kristen, Krisna Wisnu Siwa dalam agama Hindu, sang Budha dalam agama Budha.
Realita yang sangat mungkin sekali adalah bahwa kejelasan dalam memahami serta tahu akan keberadaan serta ke-Esa-an Allah diidentifikasikan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan nalar yang diwakili oleh akal yang memiliki dimensi kepekaan dan daya kritis yang memungkinkan dalam memahami segala hal, dan yang kedua menggunakan doktrin atau dogma yang hal ini diwakili oleh hati yang mempunyai perasaan patuh akan pemberitaan yang masih belum teruji. Kendatipun hal ini merupakan hal yang sangat lazim dalam keseharian dalam mempersepsikan Allah, namunkendala dan dampak yang terjadi adalah banyaknya ketidakpuasan seputar pemahaman Allah ala orang-orang yang menggunakan paradigma doctrinal.
Tapi walaupun demikian tataran nilai-nilai agama tidak harus memberikan pembatasan dalam konsep ketuhanan yang sesungguhnya.Selama ini kita memikirkan Tuhan merupakan entitas yang sudah jadi, final, dan tidak perlu dibayangkan lagi. Dengan adanya pemahaman yang semacam ini maka akan timbul kemandekan pemahaman yang tidak akan lagi berkembang dan memberikan devariasi yang luas. Symbolisasi yang dipredikatkan pada Tuhan akan memberikan pembatasan dan defensivitas substansi dari sang Penggerak. Ketika kita menganggap penfinalan labelisasi akan substansi identitas Tuhan maka yang ada semacam ilustrasi seperti orang yang ejakulasi dini. Tidak ada penghayatan dalam masa memproses pencarian dan perenungan.
Makanya perlu adanya peniadaan definitive Tuhan yang sudah tersublimasi dalam diri setiap individu.Walaupun memang tidak bisa dipungkiri kebanyakan agama telah membatasi dan mendifinisikan makna Tuhannya dengan sedemikian macam labelnya.Bentuk penyimbolan yang seperti ini menimbulkan tidak adanya bentuk penyadaran dalam memahami identitas tersebut. Maka seharusnya ada semacam persepsi dan penanaman kembali hal-hal yang nantinya akan menumbuhkan persepsi yang baru, terbuka dan memili daya argumentative yang jelas dan logis.
Sepintas kita bisa memberikan makna bahwa pengetian tentang Allah adalah suatu pegertian tentang pengada yang sempurna penuh tanpa batas, yakni pengada  yang mengandung didalamnya segala kesempurnaan, termasuk keberadaanya secara nyata. Maka bahwa Allah ada secara nyata adalah kebenaran mengenai Allah. Pengertian tentang Allah ini penting sekali artinya bagi ajaran tentang pengenalan. Jikalau Allah yang sempurna tanpa batas itu benar-benar ada, maka ia tidak akan meniru kita dalam soal yang ditunjukkan oleh akal kita sebagai hal yang jelas dan terpilah-pilah.

b.      Paham Tuhan dalam perspkektif lintas Agama
Semua agama pada dasarnya mempersepsikan diri mereka masing-masing sebagai hamba dan makhluk dari sang Pencipta yang dipercayakan sebagai sesuatu entitas Tunggal atau Esa. Berpangkal pada teisme orang mudah sekali menghubungan agama Yahudi, Kristen dan Islam.Tetapi kalau mau bicara konkret, soalnya tidak segampang itu.Lebih-lebih kalau juga agama Hindu dan Buddha mau diperhatikan.Tuhan yang sering kita persepsikan itu Allah secara abstrak bukanlah Allah yang disembah orang. Tetapi Allah yang disembah orang dalam agama berbeda-beda menurut cara orang menyembah.
Paling mudah kita berbicara mengenai paham Allah yang sama dalam dialog antara agama Kristiani dan agama Yahudi. Sebab orang Kristiani mengabil alih kitab suci orang yahudi dan dengan demikian juga paha Allah mereka tetapi disinipun perlu memperhatikan perbedaan.Perbedaan tersebut menyangkut tempat dan kedudukan Yesus Kristus. Yudaisme tidak akan pernah menerima satu mesias saja, khususnya tidak didunia ini. Sebab mesias adalah seorang tokoh eskatologis (dan itupun tidak umum diterima oleh Yudaisme). Maka ada dua keberatan: Mesias dalam arti pengantara keselamatan di dunia sekarang ini; dan terutama eksklusifisme Mesias itu.
Hal ini lebih jelas lagi dalam dialog dengan agama Islam. Islam mengakui wahyu Musa dan kepada Isa sebagai wahyu benar.Maka secara implisit mereka mengakui Allah orang Yahudi dan Kristiani.Dalam tradisi Islam sangat menekankan bahwa paham Allah tidak dapat terjangkau. Maka mereka tidak hanya bersikap skeptic terhadap apa yang disebut teisme, tetapi terutama mereka hanya dapat berpegang pada wahyu Allah yang disampaikan melalui Muhammad. Dalam islam ditekankan keagungan dan ke kuasaan Allah, walaupun Ia juga menyatakan diri sebagai yang Maha Rohim. Namu keakraban yang ditemukan dari tradisi yahudi, dan khususnya Kristiani, kiranya tidak ditemukan di islam. Disinipun letak perbedaannya bukan dalam paham Allah sendiritetapi dalam pandangan mengenai hubungan Allah dengan manusia
Dalam agama Hindu ada semacam pertanyaan yang harus diangkat, yaitu apakah Allah itu subjek atau objek?Hinduisme jelas akan menjawa Subjek. Nan ilahi dalam transendensi absolut disebut brahman, tetapi dalam imanensi dalam setiap orang Ia adalah Atman. maka antara brahman dan atman sesungguhnya tidak boleh dilawankan sebagai transendensi dan imanen. Sebab juga atman yang imanen dalam manusi juga sekaligus mentransendir segala kekuatan dan kemampuannya. Juga sebagai atman, brahman adalah absolut. Tetapi nan ilahi itu tidak hanya menggerakkan manusia individual melainkan alam semesta seluruhnya. Maka Allah tidak dikenal di luar manusia, tetapi dalam penghayatan atman, nau tanpa kehilangan sifat transendennya. Sebagai brahman (dan atman) nan ilahi tidak terwujud.
Sedangkan dalam agama Buddha tidak mengaku Allah, juga tidak menyangkal Allah.Budhisme tidak berbicara mengenai Allah.Buddhisme berbicara mengenai manusia, khususnya mengenai penderitaan manusia, dan mau memberi petunjuk konkret-praktis bagaiman manusia dalam situasi ini dan menacapai kebahagiaan. Buddha memang adalah seorang guru yang memang oleh sementara orang diberi status yang amat tinggi (barangkali boleh disebut “ilahi”). Agama Buddha bersendika Ketuhanan yang maha esa, tetapi kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran, melainan melalui Bodhi (penerangan sempurna). Dalam refleksi filosofis paham Allah disekularisasikan, bukan “ilahi” lagi.Kalau Allah dibuat menjadi objek, maka tidak ilahi lagi; kalau dihayati sebagai subjek, maka juga tidak lagi mengatasi manusia tercipta.Maka lebih baik diam.

C.    Menyoal Pluralisme Agama  
            Pluralitas agama-agama dan interpretasi penyimbolan Tuhannya bukanlah fenomena di abad ini saja, namun pluralitas sudah ada sejak dulu, ketika umat Allah, ada di tengah-tengah dunia.Pluralisme keagamaan merupakan suatu fakta kehidupan modern dan pasca modern yang tidak dapat dihindari dan diabaikan, karena kita hidup di tengah-tengah kehidupan yang serba majemuk.Kenyataan banyaknya agama mengakibatkan umat beriman untuk merumuskan sikap teologis untuk menjawab realitas itu. Hal ini merupakan upaya iman, karena dalam konteks beriman sebagai seorang yang beragama esensinya akan mendorong untuk melihat dan berkata sesuatu terhadap agama lain dengan kaca mata iman serta pengetahuan yang dimiliki.
Agama, Apa Maknanya Agama, sering sekali sulit untuk mendefinisikannya, karena agama tidak untuk didefenisikan apalagi untuk diperdebatkan melainkan agama untuk dihayati dan dihidupi.Hans Küng menyatakan bahwa agama itu bukan hanya menyangkut hal-hal teoritis, melainkan hidup sebagaimana kita hayati. Agama menyangkut sikap yang mempercayai hidup, pendekatan terhadap hidup, cara hidup. Dan yang terpenting adalah bahwa agama itu menyangkut soal relasi atau perjumpaan dengan “the Holy”. Agama selalu menyangkut basic trust seseorang akan hidup. Secara ekstensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmen pada makna, pada nilai dan pada norma. Agama, kata Küng, memberikan makna yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat, memberikan komunitas dan “rumah” rohani.
Nilai universal agama merupakan sumber nilai bagi kehidupan masyrakat. Namun secara sosiologis dan historis, agama juga sebagai kenyataan masyarakat, semua mengalami ketegangan antara apa yang disebut “partikularitas” dan “universalitas”. Hidup dalam keberagaman adalah hidup yang indah, baik dan menjadi berkat bagi manusia, tetapi ketika dalam pluralitas itu terjadi miskomunikasi, mispersepsi karena kendala bahasa yang tak terjembatani, maka pluralis itu menjadikan umat manusia tercerai berai (berhadapan dengan pemeluk agama lain, seseorang harus siap menghadapi dan mengakui perbedaan mendasar dalam hal pandangannya tentang dunia, hidup, cara berperilaku dan bersikap, dan lain sebagainya). Bagaimanakah kita memandang kedudukan agama-agama di dunia? Adakah cara pandang yang bisa menjadi dasar dialog yang, di satu pihak, tidak meremehkan agama lain, dan di lain pihak tidak menghianati agama sendiri.
Sebagai umat yang tahu akan sesuatu yang Maha Besar seharusnya kita semua melakukan perenungan dan dialog dengan keyakinan lain karena baik firman dan pengalaman kita membuktikan kalau Tuhan bekerja di seluruh kebudayaan dan sejarah manusia. Tuhan menyatakan diri-Nya tidak hanya melalui ke-Kristenan-an, tetapi juga melalui berbagai cara pandang tentang Tuhan dalam masyarakat dan agama mereka. Keyakinan-keyakinan lain juga merupakan pernyataan Tuhan atas eksistensinya kepada manusia. Dialog dengan agama adalah perlu dilakukan sebagai sarana saling memahami dan bekerja sama.
Dalam aspek yang sangat umum, Kung menunjukkan tiga aspek arah dari setiap dialog :
  1. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh.
  2. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah-ubah.
  3. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama -meskipun ada

Perbedaan memang tidak dapat dihindari, bukan hanya dalam hal beragama, melainkan dalam segala aspek kehidupan.Manusia adalah makhluk ciptaan yang paling unik yang Tuhan ciptakan, yang memiliki akal, budi pekerti, kehendak, dan lain sebagainya.Demikian juga halnya dalam beragama, setiap pribadi berhak untuk meyakini keimanannya dan menghidupi iman yang diyakininya.Sebagai masyarakat yang hidup di tengah-tengah bangsa Indonesia, yaitu masyarkat yang pluralistik, perbedaan memang kenyataan dan tidak dapat dihindari. Kita tidak usah berbuat seolah-olah mengakui bahwa dalam agama lain ada kebenaran dan keselamatan, tetapi dengan diam-diam dan terselubung tetap menganggap bahwa agama kitalah yang benar. Demikian pula kita tidak perlu menganggap bahwa setiap agama itu sama saja, hanya cara yang ditempuhnya berbeda-beda, apalagi memaksa diri untuk menjadi seragam, misalnya menciptakan teologi agama-agama yang bisa diterima semua pihak, padahal kenyataannya kita memang berbeda.
Pengakuan akan Allah sebagai Sang Pencipta belum berarti perjumpaan dengan Allah, juga tidak kalau Allah diakui sebagai pribadi. Pada dasarnya pengakuan akan Sang pencipta adalah pengakuan akan misteri diri manusia sendiri sebagai makhluk yang sekaligus terbatas dan tak terbatas. Namun dengan pengakuan semacam ini secara implisit diakui pula dasar komunikasi seputar ketuhanan antara Sang Pencipta dan makhluk-Nya. Perbedaan-perbedaan yang seperti itulah tidak hanya bersifat sangat prinsipil, tetapi juga sangat ditentukan. Paling sedikit nantinya mempunyai landasan yang sangat kuat. Dari situlah datang pluralisme agama yang pada dasarnya adalah pluralisme iman, harus diakui.
Dari lain pihak, jawaban terhadap perlawanan antara sekelompok agama yang saling berbeda pendapat bukanlahmenghilangkan arti agama, tetapi berhadapan dengan plualisme agama pantaslah orang mendalami iman dan penghayatan dalam kelompok agama sendiri, dalam kesadaran bahwa tidak ada satupun agama pun yang dapat dimutlakkan. Yang mungkin hanyalah saling mendengarkan, saling menghargai dan berusaha bersama menyambu keselamaan Allah dan penyampaikany kepada publik.


1 komentar:

  1. Bisakah Tuhan toe dikonsep...???
    Tuhan yang tidak pernah benar-benar diketahui hakikat-Nya dan tidak terjangkau dg sebenar-benarnya. Namun, perlu ada ratifikasi antara Tuhan kepercayaan yang terkonsep dalam doktrin-doktrin masing-masing agama dan Tuhan sekalian Alam yang memang satu untuk semua.
    Mustahil to semua tetap dibenarkan pada hakikatnya, kecuali pada taraf "Tuhan kepercayaan" tadi terkait pluralisme dst.
    Pada hakekatnya Tuhan itu satu dan sama, sekali lagi tidak pada Tuhan kepercayaan yang terkonsep tadi. Itu sih hasil pemikiran dengan kepentingan dan tujuan. Trims

    BalasHapus